Mekanisme Anti Bodi Sebagai Sistem Pertahanan Tubuh
Sering sekali kita terserang sakit flu, batuk apalagi saat saat musim pancaroba, Namun sebenarnya apa yang terjadi? Di lingkungan
sekitar kita terdapat banyak sekali substansi bermolekul kecil yang tidak bisa di lihat secara langsung dengan mata. Saat substansi bermolekul kecil ini masuk ke
dalam tubuh, hal ini bisa menjadi salah satu penyebab kita terserang sakit,. Substansi kecil tersebut bisa berupa bakteri, virus, jamur dan mikroorganisme lainnya. Substansi bermolekul kecil ini menjadi antigen bila dia
melekat pada protein tubuh kita. Substansi kecil yang bisa berubah menjadi
antigen tersebut dikenal dengan istilah hapten. Substansi-substansi tersebut
lolos dari barier respon non spesifik (eksternal maupun internal).
Namun
sebenarnya kita tak perlu khawatir karena Allah SWT telah menciptakan
tubuh ini dengan begitu sempurnanya. dalam tubuh ini telah Allah bekali
dengan sebuah sistem untuk menanggulangi material asing masuk kedalam
tubuh melalui sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan atau
sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang
dilakukan
oleh sel dan organ khusus pada suatu
organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel
kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah,
kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen,
termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh.
Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan
terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena
beberapa jenis kanker.
Jika terpapar dengan
suatu antigen asing untuk pertama kali, maka tubuh akan meningkatkan respon
imun. Sekitar tujuh hari setelah paparan atau pemberian antigen, aktifasi dari
sistem imun diketahui dengan timbulnya antibodi dalam darah.titer antibodi (jumlah
dalam serum darah) terus meningkat mencapai puncak dan kemudian menurun.
Disebut sebagai respon imun primer, aktifasi dari sistem imun menyebabkan
proliferasi sel B yang menghasilkan antibodi
yang mengenali antigen monovalen atau multivalen tertentu. Dalam respon ini,
kelas pertama imunoglobulin yang dihasilkan adalah IgM, diikuti oleh IgG
(dengan penurunan serentak dalam sintesis IgM). Jika seseorang divaksinasi
terhadap suatu penyakit tertentu, maka diberikan suatu strain yang dilemahkan
(avirulen) atau dimatikan dari pathogen yamg merupakan penyebab dari penyaki,
dan respon imun primer yang ditimbulkanoleh vaksinasi inilah yang memberikan
proteksi jika terjadi paparan atau pemberian antigen kedua yang sama. Seperti
digambarkan dalam gambar 1. Paparan atau pemberian kedua dari antigen
menimbulkan respon imun sekunder dan seperti terlihat respon kedua lebih
efektif daripada yang pertama dipandang dari segi produksi antibodi. Respon
sekunder berbeda dari respon pertama dalam hal (1) sintesis antibodi lebih dari
yang pertama, (2) titer antibodi lebih tinggi, dan (3) kadar antibodi yang
tinggi menetap lebih lama. Pada kasus individu yang divaksinasi, respon
sekunder yang efektif adalah respon yang melindungi terhadap infeksi jika
terjadi paparan terhadap patogen hidup.
Gambar 1. Karakteristik
perjalanan waktu dari suatu respon imun terhadap suatu antigen
Aktivasi suatu sel B
setelah mengikat suatu antigen digambarkan secara sekematik dalam gambar 2.
Pengikatan ini memicu seleksi klonal, yang melibatkan proliferasi dan
diferensiasi dari sel B. Seperti diperlihatkan, hanya sel B yang mengenali sel
B yang mengenali antigen yang dirusak. Dalam seleksi klonal, proliferasi dan
proses pematangan secara bermakna meningkatkan populasi sel B dan produksi dari
antibodi yang mengenali antigen. Perlu diperhatika bahwa seleksi klonal juga
menyebabkan proliferasi sel T.
Sel B yang
menghasilkan antibodi disebut sel plasma, yang merupakan sel B yang telah
mengalami diferensiasi terminal, yaitu tumbuh menjadi lebih besar,
mensekresikan sejumlah besar antibodi,
dan berhenti memproduksi. Sel plasma hanya hidup beberapa hari. Selain
menghasilkan sel plasma, sel B juga menghasilkan tipe kedua dari sel B, yang
disebut sel memori. Tidak seperti sel plasma, sel memori tidak menghasilkan
antibodi tetapi bertindak sebagai sel pengenal antigen. Dengan demikian,
seleksi klonal dari sel B melaksanakan peran ganda untuk meningkatkan
pertahanan terhadap ancaman langsung dan untuk mempertahankan sistem pemantulan
terhadap antigen
Gambar 2. Seleksi klonal sel B
Dalam respon imun, sel T penolong
merupakan peserta kunci karena aktivasinya menyusun berbagai aktivitas
pertahanan, yang secara kolektif, melindungi tubuh. Seperti dinyatakan di atas,
suatu antigen harus dikenalkan pada suatu sel T oleh suatu APC untuk memicu
aktivasi dengan demikian suatu sel T penolong harus mengenali suatu sel yang
membawa marker diri (APC) dan non diri (antigen). APC sering merupakan
makrofag, suatu fagosit yang menelan dan mendegradasi bahan asing. (Sel B dapat
juga berfungsi APC). Makrofag akan memfagosit antigen, mengolahnya secara
internal, dan kemudian memperlihatkannya pada permukaan sel, yaitu menjadi sel
penyaji-antigen yang kemudian dikenali oleh sel T penolong. Marker diri yang
dilahirkan oleh suatu makrofag merupakan glikoprotein kompleks
histokompatibilitas utama (MHC) kelas II. (Glikoprotein MHC merupakan marker
selular yang memberikan identifikasi diri dan non diri dan terdiri dari dua
kelas, disebut kelas I dan II. Glikoprotein MHC kelas I terdapat pada permukaan
distribusi yang lebih terbatas. Penolakan dari cangkok jaringan terjadi karena
jaringan merupakan non diri, yaitu mempunyai marker MHC yang mengidentifikasi
sel cangkokan sebagai asing).
Perincian molekular yang terlibat
dalam suatu interaksi sel T-APC masih tidak menentu namun telah diketahui
beberapa ciri reseptor dari fenomena ini. Glikoprotein MHC kelas II dari suatu
makrofag diduga oleh beberapa ahli berinteraksi dengan suatu glikoprotein
disebut CD4, pada permukaan sel T penolong. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya,
sel T juga memiliki suatu reseptor spesifik untuk antigen yang disajikan oleh
makrofag. Bagaimana pengenalan yang menyebabkan suatu interaksi terjadi
digambarkan dalam Gambar 3 yang menggambarkan salah satu dari hipotesis yang
diajukan. Seperti terlihat, glikoprotein MHC kelas II berkaitan erat dengan
CD4. Juga berkaitan dengan tempat reseptor sel T adalah protein yang lain
disebut T3, yang didalilkan menstabilkan tempat reseptor dan memancarkan sinyal
aktivasi ke sel T.
Aktivasi Sistem Pertahanan
Interaksi dari
suatu sel penyaji-antigen dan suatu sel T penolong diikuti dengan aktivasi dari
sel T oleh interleukin 1 (IL-1), yang dihasilkan oleh makrofag. Seperti
digambarkan secara skematik dalam gambar 4, IL-1 mengaktivasi sel T penolong
untuk menghasilkan interleukin 2 (IL-2) dan juga bertindak sebagai sinyal untuk
meningkatkan suhu tubuh. Interleukin 2 merupakan suatu limfokin, suatu protein
yang dihasilkan oleh limfosit bertindak sebagai
Gambar 3 Pengenalan sel T penolong terhadap
suatu antigen (suatu hipotesis)
suatu
komunikator molekular di antara sel dari sistem imun. Interleukin 2 bertindak
sebagai suatu faktor otokrin, mengaktivasi produsernya (sel T penolong) untuk
mensintesis reseptor IL-2. Kemudian sebagai akibat stimulasi IL-2, sel berproliferasi
dan berdiferensiasi memperluas populasi dari sel T penolong antigen-spesifik.
IL-2, sebagai suatu messenger (pesuruh) kimiawi, juga diperlukan untuk
proliferasi dari prekursor sel T sitotoksik teraktivasi-antigen. Dalam strategi
pertahanan, sel T sitotoksik mengenali dan melisis sel yang mengandung antigen,
contohnya suatu antigen virus.
Sel T penolong yang teraktivasi juga
merangsang sel B dengan menghasilkan faktor diferensiasi dan pertumbuhan sel B,
yang menimbulkan proliferasi dan diferensiasi, dan dengan demikian,
meningkatkan produksi antibodi terhadap antigen. Aktivasi sel T juga memicu
aktivasi makrofag, yang diperantai oleh interferon-ᵞ (ᵞIFN) limfokin lain yang
dihasilkan oleh sel T penolong yang diaktivasi. Makrofag fagositik mengenali dan menelan antigen bebas. Dengan
demikian, seperti digambarkan dalam Gambar 4, interaksi sel T-makrofag semula
menimbulkan peningkatan suatu sistem pertahanan yang mengaktivasi sel T
penolong, T sitotoksik, dan sel B, demikian juga makrofag dan juga meningkatkan
suhu tubuh. Namun aktivasi yang digambarkan merupakan gambaran yang terbatas
dari aktivasi sistem imun karena riset masih berlanjut untuk mengidentifikasi
ciri baru dalam kaskade peristiwa. Contohnya sejumlah limfokin tambahan telah
diidentifikasi, dan usaha untuk menentukan masing-masing aktivitasnya sedang
berlangsung. Diantaranya adalah interleukin 3, 4, 5 dan 6 (lihat Tabel 1).
Riset mengenai sel T supresor merupakan daerah aktif lain dalam imunologi. Sel
ini didalilkan memainkan suatu peranan pengaturan berlanjut dengan menekan
respon imun jika ancaman infeksi telah berlalu.
Aksi sel T
supresor dapat ditujukan pada sel T penolong atau sel B namun dewasa ini modus
aksinya tidak diketahui.
Dengan demikian, riset imunologik terus
memberikan pengertian yang lebih menyeluruh dari peristiwa molekular yang
terlibat dalam sistem kekebalan yang sungguh efisien. Informasi yang didapat
diadaptasi dengan cepat untuk kemungkinan penggunaannya dalam kedokteran
contohnya produksi IL-2 (dari gen yang diklon) untuk penggunaan dalam terapi kanker dan dalam kombinasi
dengan AZT untuk pengobatan pasien sindrom defisiensi imun yang didapat
Komentar
Posting Komentar